Maraknya penjualan tiket oleh pihak ke-3 yang tidak resmi a.k.a calo nampaknya cukup membuat pemerintahan Taiwan geram. Hal ini diperkuat dengan adanya aturan yang baru saja disahkan pada jumat kemarin (12/5).
melalui Korea JoongAng Daily pada selasa (16/5), kebijakan tersebut mengatur hukuman bagi calo atau oknum yang ketahuan membeli tiket konser lalu menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi dari harga aslinya.
Para calo tiket berpotensi menjalankan hukuman penjara berdurasi 3 tahun serta membayar denda sebesar Rp 1,4 Miliar (NT$ 1=Rp 481,05).
“orang-orang yang menggunakan informasi dan metode menyesatkan, termasuk algoritma online untuk membeli tiket dalam jumlah besar dan setelahnya dijual kembali maka bisa dihukum penjara maksimal 3 tahun atau denda NT$ 3 Juta,” bunyi aturan tersebut berdasarkan Liberty Times Taiwan.
Kementerian Kebudayaan Taiwan akan bekerja sama dengan polisi setempat agar aturan yang baru saja disahkan tersebut bisa berjalan dengan sebagaimana mestinya. Selain itu, pemerintah taiwan juga meminta agar masyarakat turut aktif melapor ke pihak berwajib jika menemukan calo atau kegiatan jual beli tiket tidak resmi. Bahkan, nantinya masyarakat akan diberi hadiah berupa uang sebesar NT$ 100 Ribu (Rp 48 Juta) atau 20% dari jumlah denda pelaku.
Pemerintah Taiwan juga akan menyiapkan aturan untuk memastikan penggunaan nama asli konsumen saat membeli tiket konser serta mengembangkan platform yang secara khusus digunakan untuk menjual kembali tiket konser yang sudah dibeli.
tentunya aturan tersebut bukan tanpa sebab, pengesahan undang-undang itu muncul sekitar 2 bulan setelah Blackpink menggelar konser 2 hari di Kaohsiung pada 18 & 19 Maret kemarin. kala itu, banyaknya orang melaporkan temuan harga tiket di calo meroket drastis dari harga aslinya sampe menyentuh diharga NT$ 400 Ribu atau sekitar Rp 192,4 Juta. Padahal, harga termahal tiket aslinya hanya berada diangka NT$ 8.800 atau sekitar Rp 4,23 juta saja. Wow, Gila gaksih harganya? itu calo mau naik haji kali ye!?
menurut kamu, sebaiknya pemerintah Indonesia perlu melakukan movement serupa atau tidak?