Parahyena sebagai band yang mengusung garis genre akustik folk / worldmusic secara khusus menautkan langsung kekayaan idiom musik lokal Indonesia dalam dominasi karya bermusiknya, beberapa fragmen dari musik tradisi diadopsi sebagai bagian dari karya utuh untuk mewarnai sekaligus memberikan tampilan soundscape yang menarik. Adalah bentuk ekspresi dari 7 pemuda yang bersepakat membentuk band bernama Parahyena yaitu Radi Tajul, Fajar Aditya, Iman Surya, Fariz Alwan, Maulana Agung Pamenang, Muhammad Imam Fadlillah dan Sendy Novian pada tahun 2014.
Kirata menjadi mantra untuk E.P kedua ini setelah di tahun 2016 lalu menghadirkan album penuh “Ropea”. Kirata adalah bentuk respon Parahyena selama proses pengerjaan album yang memang mempraktekan pola membuat musik-nya terlebih dahulu ketimbang judulnya, tentu saja segala tafsir lahir setelahnya. Kirata merupakan akronim dari “di kira-kira tapi nyata, bentuk musikalitas khas nusantara (timur) disenyawakan dengan musik dari pada genre (barat) secara umum dan dieksplorasi bukan sebagai bentuk terasing, melainkan senyawa berbaur harmonis dalam kesatuan.
7 lagu instrumental diracik dengan bumbu nusantara yang tentu saja disajikan bersama secangkir harapan yang penuh fermentasi didalamnya. Menjadi sebuah gambaran yang Parahyena rangkum pada EP kali ini, bebas sebebasnya terutama dalam keterbukaan pikiran serta penuangannya menjadi titik utama yang coba parahyena tebarkan. Dalam E.P ini Parahyena ber-featuring dengan beberapa seniman diantaranya Rama Syahrul (Dalang Wayang Golek) & Roekmana Agus (Gitar Degung) dalam lagu “Lutung Bingung”, Sonklang String Ensamble pada lagu Bubuka, Jalil, Jog-Jog, Celementree & Lutung Bingung, Ipin Pian (Kendang) pada lagu “lagemi”, dan Twobrother (Djarwo & Abem) dalam lagu Kalikuna.